Friday 3 April 2009

Cinta Rupiah

Sistem moneter di Indonesia menurut saya sungguh aneh. Tidak ada konsistensi antara keinginan untuk membuat mata uang Rupiah menjadi kuat dengan kenyataan dalam kehidupan sehari-hari. Sering kita mendengar keluhan, atau kita sendiri yang mengeluh, betapa mahalnya harga-harga berbagai macam barang sekarang.

Saya masih ingat waktu saya masih SMP dulu, saya berangkat ke sekolah cukup berbekal uang 100 rupiah pulang pergi. Untuk penumpang umum, ongkos angkot cukup 150 rupiah saja. Waktu SD, saya bisa jajan satu mangkok bubur ayam dengan uang 50 rupiah. Biasanya orang tua membekali saya dengan uang jajan paling banyak 100 rupiah.

Jaman sekarang, selain harga-harga yang naik sekian kali lipat, ada kejanggalan juga. Anda tentunya pernah kan membeli sesuatu di mini market atau pasar swalayan? Dari sekian kali berbelanja, berapa kali di antaranya harga yang harus anda bayarkan jumlahnya bulat? Misalnya 2000 rupiah, 1300 rupiah, atau 600 rupiah. Saya sendiri jarang mendapatkan harga bulat seperti itu. Memang ada pasar swalayan besar yang menggunakan sistem pembulatan terhadap total harga barang yang kita beli.

Itu soal harga yang harus kita bayar. Lebih menyebalkan lagi kalau kemudian kita mengeluarkan uang dan kemudian seharusnya mendapatkan uang kembalian. Berapa kali anda mendapatkan uang kembalian dalam jumlah yang utuh? Atau berapa kali anda mendapatkan uang kembalian dalam bentuk bukan uang?

Misalkan saya membeli sejumlah barang, dan total harganya 1950 rupiah. Pecahan terkecil berapa yang sekarang beredar di masyarakat? Kadang menemukan kepingan 100 rupiah aja sudah cukup susah, apalagi 50 rupiah. Malah kadang-kadang saya lihat kepingan perak 100 rupiah atau 50 rupiah tergeletak begitu saja di jalanan. Tak ada yang peduli untuk mengambilnya. Seolah harga 50 rupiah sudah tidak ada artinya, tak bisa bikin kita kaya.

Menurut saya hal semacam ini membuat kita tidak menghargai mata uang kita sendiri. Pemerintah seharusnya juga konsisten dengan menerbitkan kepingan uang yang dibutuhkan masyarakat. Dalam kenyataannya sering kita harus membayar dalam jumlah yang melibatkan pecahan 1 rupiah. Tapi pecahan terkecil yang beredar sekarang, kalau pun bisa ditemukan, hanya 50 rupiah. Di pihak lain, seharusnya juga para pengusaha dan penjual menetapkan harga yang sesuai dengan kenyataan pecahan terkecil yang beredar. Jangan bikin harga aneh-aneh, misalnya 10.999 rupiah. Kalau saya bayar dengan uang 11.000 rupiah, apa saya bisa mendapatkan uang kembali yang hanya 1 rupiah?

Inilah anehnya sistem keuangan di Indonesia. Di media elektronik sering diputar iklan layanan masyarakat yang menghimbau rakyat untuk 3D. Tapi toh ini hanya berlaku untuk uang kertas. Bagaimana dengan kepingan logam?

Negeri ini memang suka aneh. Pengen maju, tapi perilakunya nggak mau berubah ke arah kemajuan. Pengen rakyat sejahtera secara finansial, tapi pemerintah dan pengusahanya juga nggak mau melakukan sesuatu untuk membuat 1 rupiah itu besar artinya.

Kalau kita sudah berpikir uang 50 rupiah yang tergeletak di jalanan seolah tak bisa membuat kita kaya, bagaimana kalau kita punya uang dalam jumlah yang jauh lebih besar?

No comments:

Post a Comment