Thursday 6 July 2006

Sapu Lidi Udin

Malam semakin larut ketika aku mulai melangkahkan kaki di sepanjang jalan berdebu kota ini. Aku memutuskan pulang berjalan kaki. Entah apakah kakiku masih kuat menghantarkan tubuhku berjalan sejauh itu. Kuputuskan berjalan kaki pulang untuk mencoba melupakan apa yang telah kualami siang tadi. Harapanku kegiatan fisik dapat mengurai pikiranku yang kusut.

Aku berjalan secepat yang aku bisa. Sekitar tiga perempat jam kemudian aku mulai merasa lelah. Kakiku mulai terasa berdenyut-denyut minta istirahat. Kuperlambat ayunan langkahku, menuju tempat terdekat di mana aku bisa duduk memberi kesempatan kakiku untuk beristirahat.

Aku pilih sebuah halte bus di dekat gang menuju sebuah pemukiman kumuh. Letaknya agak memojok menyendiri, beberapa meter dari sebuah warung rokok. Sengaja kupilih halte ini agar aku dapat beristirahat sambil menenangkan pikiran dan menghindari gangguan orang yang lalu lalang. Syukurlah, halte pilihanku ini tak seramai halte-halte lain.

Kubuka bekal sebuah botol air yang sudah kupersiapkan dari kantor. Kunikmati hembusan angin malam berdebu mendinginkan tubuhku yang sudah sedikit berpeluh. Segar kurasakan tiupan angin setiap kali ada kendaraan yang lewat melintas. Bus besar dan kecil, kosong atau sarat penumpang.. kendaraan pribadi, mewah atau murah.. dan beberapa kali melintas kendaraan bermotor roda dua.

Pikiranku mulai terasa lebih tenang. Tubuhku yang terasa lelah mulai kembali mendapatkan kekuatannya setelah kuberi minum beberapa teguk air. Aku baru akan berdiri melanjutkan perjalanan ketika sebuah bus yang tampak kosong mendekat ke arah halte. Di pintu bus kulihat seorang anak kecil tanpa alas kaki memegang sebuah sapu lidi tampak hendak turun.

Ketika anak itu melompat turun dari bus, semakin jelas terlihat coreng-moreng debu jalanan di wajah dan kakinya. Tak berbeda jauh dibandingkan kaos yang dikenakannya. Entah sudah berapa lama kaos itu tak bersentuhan dengan air dan deterjen, gambar logo salah satu klub sepakbola Eropa yang menghiasi kaos itu tampak mulai memudar. Celana pendek yang dikenakannya jauh lebih kotor lagi, tak jelas apa warna aslinya. Aku merasa beruntung masih bisa duduk di kursi halte berlapis keramik murahan tanpa mengotori celana panjangku. Anak ini mungkin lebih sering duduk di trotoar pinggir jalan. Tidak aneh kalau celananya begitu kotor.

Aku mengurungkan niatku melanjutkan perjalanan. Sapu lidi kecil yang dipegang anak tadi membuatku penasaran. Biasanya anak jalanan seumuran dia lebih memilih mengamen dengan alat musik sangat sederhana terbuat dari beberapa bekas tutup botol yang dipakukan pada sepotong kayu. Kuperhatikan wajah dan tubuh kecilnya yang kusam berdebu. Kutaksir umurnya baru sekitar lima atau enam tahun.

Begitu turun dari bus, tanpa mempedulikan kotor atau tidak dia langsung duduk di samping halte, beberapa jengkal di samping tempatku duduk. Aroma badannya yang berbau asam dapat kurasakan menggelitik penciumanku. Seperti tak perduli dengan keberadaanku, dia mengeluarkan beberapa lembar uang ribuan dan beberapa keping uang logam dari saku celananya.

Aku semakin penasaran. Dari mana dia bisa mendapatkan uang recehan itu? Mungkin uang itu didapatkannya dari mengamen bersama temannya. Namun sedari tadi ketika dia masih ada dalam bus, tak terlihat anak kecil lain bersamanya. Mungkin alat musik ecek-ecek dibawa oleh temannya. Atau mungkin teman anak ini sudah turun lebih dulu di halte sebelumnya.

Aku belum sempat membuka mulut menyapa anak ini untuk menjawab rasa penasaranku, ketika dia sudah lebih dulu bersuara. Dia lebih berbicara kepada dirinya sendiri daripada berbicara kepada orang lain. Dia tampak masih tak perduli dengan keberadaanku. Mungkin dia terlalu asyik dengan pikirannya sendiri sampai-sampai tak ambil pusing dengan kejadian di sekelilingnya. Dia asyik dengan kesibukannya, berbicara kepada dirinya sendiri. Bahkan tak perduli kemungkinan adanya tukang palak di halte ini yang mungkin bisa merampas uang receh yang tak seberapa besar nilainya itu. Dia bergumam, namun apa yang dikatakannya dapat kudengar dengan jelas. Bising kendaraan yang lalu lalang semakin berkurang dengan semakin larutnya malam. Warung rokok di dekat halte pun mulai tutup dan ditinggalkan oleh pemiliknya.

``Alhamdulillah.. Udin dapet rejeki hari ini''. Tangan si Udin mengelompokkan uang yang didapatnya dalam nilai-nilai pecahan yang sama. ``Mudah-mudahan Emak bisa ngedapetin lidi yang banyak hari ini..
biar sapu Udin makin gede..''

Rupanya ibu si Udin juga mencari nafkah, entah dengan cara apa, setidaknya dia mencoba mencarikan sapu lidi baru atau bekas yang lebih besar buat anaknya. Namun aku kagum, anak sekecil Udin sudah mampu mengucap syukur walau hanya mendapatkan rejeki yang nilainya tak seberapa.

``Kalo sapu Udin gede, Udin bisa nyapu lebih banyak.. Udin bisa dapet uang lebih banyak.. Kalo uang Udin udah banyak, Udin mau beliin rumah buat Emak.''

Terenyuh hatiku mendengar kata-kata si Udin, anak jalanan yang mencari uang dengan menjual jasa menyapu. Entah kapan impiannya akan dapat terwujud, bisa membelikan rumah buat Emaknya. Ketika tabungan uangnya semakin bertambah, entah berapa banyak kenaikan harga rumah di negeri ini, membuat impian Udin dan orang-orang yang senasib dengannya semakin jauh tertinggal di belakang.

Aku berdiri, sambil tetap memperhatikan tingkah laku si Udin kecil. Tampaknya hempasan kehidupan yang dirasakannya jauh lebih besar daripada apa yang telah kualami. Kerasnya kehidupan membuat Udin tetap tak peduli dengan keberadaanku di sampingnya.

Kurogoh saku celanaku, kugenggam beberapa helai uang ribuan yang semustinya kugunakan untuk ongkos pulang ke rumah. Ada ragu kurasakan, apakah kuberikan semua uang yang ada dalam saku celanaku buat Udin. Badanku yang letih memaksa pikiranku untuk mengurungkan niat memberi sedekah buat Udin. Tapi hatiku berkata lain. Udin dan Emaknya, dan mungkin saudara-saudara Udin yang lain, lebih membutuhkan uang yang kugenggam daripada aku. Biarlah aku pulang malam ini dengan melanjutkan jalan kaki.

Perlahan-lahan kudekati si Udin kecil, kuberikan uang kepadanya. ``Dik..ini sedikit uang buat adik''

Udin baru menyadari kalau ada orang di dekatnya. Dia tampak terkejut. Udin tak berbicara sepatah kata pun, dia hanya terdiam, berkali-kali memandangi wajahku dan uang yang ada di telapak tanganku. Akhirnya kuraih salah satu tangannya dan kugenggamkan uang pemberianku di tangannya yang hitam dan kotor.

``Ditabung ya..berikan buat Emak di rumah'', kataku sambil perlahan berdiri.

Aku mulai melangkah pergi. Belum terlalu jauh, terdengar suara Udin berteriak di belakangku, ``Terima kasih ya Om! Terima kasih banyak!''

Aku balikkan badan ke halte. Kulihat Udin berdiri sambil memegang tumpukan uang di depan dadanya. Kulihat matanya tampak berkaca-kaca, dengan sedikit sunggingan senyum di wajahnya.

Aku tersenyum, kulambaikan tangan sebagai tanda berpisah. Air mata pun meleleh mengalir di kedua pipi Udin, menambah lagi coreng-moreng di mukanya. Kuucapkan salam. Udin tak kuasa menahan tangis haru. Dengan terbata-bata dibalasnya salamku, ``Wa.. alaikum.. salam.. wa rah..matullah..''

Udin kecil pun menjejalkan uang recehan yang digenggamnya ke dalam saku celana, kemudian dia ambil sapu lidi kecilnya dan sambil tetap menangis berlari ke arah gang gelap di belakang halte, mengarah ke perkampungan kumuh di belakangnya. Kudengar tangis haru Udin semakin menghilang di gelapnya malam.

``Ah.. Udin.. semoga Allah mengabulkan keinginanmu..'', kataku dalam hati. Tambahan rejeki tak seberapa dari orang semacam aku sudah membuatnya girang bahkan terharu.

Aku pun melanjutkan perjalanan pulang. Masih jauh jalan yang harus kutempuh untuk sampai ke rumah dengan berjalan kaki. Aku mulai memikirkan kata-kata apa yang kusampaikan kepada istriku tengah malam nanti, mengabarkan bahwa suaminya ini diPHK tadi siang.

Jakarta, 10 Jumadil Akhir 1427